MK Batalkan Kewenangan DPRD untuk Melakukan Pemanggilan Paksa Kepala Daerah

LONTARNEWS.COM. I. Jember – Upaya pemanggilan paksa Bupati Jember, dr. Faida. MMR, terkait penggunaan hak angket oleh DPRD Jember, tak bisa dilakukan. Ini dikarenakan, kewenangan DPRD untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap kepala daerah, sebagaimana Pasal 171 ayat (3) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 75 ayat (3) Peraturan Pemerintah 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui putusannya yang bersifat final dan mengikat, Nomor 16/PUU-XVI/2018, MK telah membatalkan norma yang isinya memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan pemanggilan paksa dengan bantuan kepolisian yang ada dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). “Alasan MK membatalkan norma seperti ini, karena pemanggilan paksa merupakan upaya perampasan hak pribadi seseorang yang hanya dikenal dalam proses penegakan hukum pidana (pro justicia) yang diatur secara jelas dalam KUHAP mengenai prosedur penggunaannya dan tidak diperbolehkan untuk tindakan selain penegakan hukum,” jelas Dr. Oce Madril, S.H, M.A.Gov, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
?
Putusan MK, bukan hanya membatalkan isi suatu UU tertentu yang diuji ke MK, melainkan juga berdampak kepada konstitusionalitas norma-norma sejenis yang identik dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Putusan MK bersifat erga omnes yang artinya tidak hanya berlaku bagi para pihak yang menguji ke MK melainkan juga mengikat semua pihak termasuk berdampak kepada norma lain yang identik yang sejenis yang ada dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain adanya putusan MK, maka
pemanggilan paksa oleh DPRD dengan bantuan Kepolisian RI dalam Pasal 171 Ayat (3) UU Pemda dan Pasal 75 ayat (3) PP 12/2018 juga merupakan norma yang tidak dapat dioperasionalkan karena merupakan norma yang kabur (vague norm) dan norma yang mengandung kekosongan hukum (vacuum of norm). Dikatakan norma yang kabur, karena tidak jelas berapa kali yang dimaksud dengan dipanggil “secara berturut-turut”, apakah 3 kali, 4 kali, 5 kali atau lebih.

“Ketentuan batasan pemanggilan berturut-turut dalam Pasal 112 KUHAP untuk dapat dihadirkannya secara paksa seseorang ke penyidik tidak dapat diterapkan dalam pemanggilan secara paksa di hak angket DPRD karena hak angket bukanlah penegakan hukum (pro justicia) yang bisa mengacu kepada KUHAP,” tandasnya. (*).