Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara perorangan. (laduni.id)
Penggunaan kalimat halal bihalal juga pernah digunakan Suara Muhammadiyah edisi nomor 5 tahun 1924. Pada majalah tersebut, redaksi mengajak warga Muhammadiyah yang tidak memiliki waktu untuk bertemu dan bersilaturahmi karena jarak yang berjauhan atau sebab lain, untuk mengisi ruang advertorial dalam rangka ber_halal bihalal.
Ajakan bersilaturahmi lewat ruang advertorial dengan menggunakan kalimat halal bihalal (alal bahalal), ini kembali dilakukan majalah Suara Muhammadiyah edisi 1926.(suaramuhammadiyah.id)
Penggunaan kalimat halal bi halal semakin populer usai KH Wahab Chasbullah, tokoh dan ulama Nahdhatul Ulama pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 1948 dipanggil Bung Karno (Presiden RI 1).
Bung Karno (Ir Sukarno) memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya berkaitan dengan situasi politik Indonesia yang ketika itu lagi tidak baik-baik saja.
Permintaan Bung Karno ini oleh KH Wahab Chasbullah dijawab dengan pemberian saran, bahwa untuk mengakhiri perseteruan politik di kalangan tokoh kala itu, Bung Karno diminta menyelenggarakan silaturahim.
Saran ini diberikan karena ketika itu umat Islam akan menghadapi dan merayakan Hari Raya Idul Fitri yang biasanya juga disertai dengan silaturahmi dan saling memberi maaf.
Hingga acara silaturahmi dengan tajuk halal bihalal para tokoh nasional yang lagi berseteru mengarah pada pecahnya persatuan dan kesatuan itupun akhirnya tergelar. (*).