Operasi penumpasan pemberontakan Sadeng yang dipimpin langsung oleh Tribuwana Tunggadewi itupun berjalan sukses. Ekspedisi Pasadeng berhasil menumpas pemberontakan yang menentang pemerintahan kerajaan Majapahit.
Nagarakretagama mencatat peristiwa pemberontakan Sadeng terjadi pada 1253 Saka atau 1331 Masehi. Catatan yang sama juga tertulis dalam Serat Pararaton dengan candrasengkala ‘kaya bhuta non daging’ artinya seperti raksasa melihat daging.
Peristiwa Sadeng dalam Kitab Kakawin Nagarakretagama tercatat bersamaan dengan pemberontakan yang meletus di Keta (pesisir utara Pulau Jawa/Situbondo).
Setelah pemberontakan Sadeng dan Keta berhasil dipadamkan, tahun 1334, sesuai dengan janjinya kepada Arya Tadah, Gajah Mada bersedia diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Keberhasilan menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta, juga menjadi titik awal bagi upaya penyatuan Nusantara di bawah panji Majapahit
Arya Tadah yang pada tahun 1329 pernah mengajukan pensiun karena sudah sepuh dan sakit-sakitan, jabatannya sebagai Patih Amangkubumi digantikan kepada Gajah Mada.
Pengangkatan Gajah Mada sebagai patih amangkubumi, ini juga diikuti penunjukkan Ra Kembar sebagai bekel (koordinator) araraman (pasukan pemukul musuh).
Para pahlawan Majapahit lainnya yang turut dalam Ekspedisi Pasadeng, seperti Jaranbhaya, Jalu, Demang Buncang, Gagak Minge, Jenar, Arya Rahu, dan Lembu Peteng diangkat menjadi pejabat setingkat tumenggung.
Masih dalam tahun 1334, saat digelar pertemuan di balairung istana Majapahit, di hadapan Rani Majapahit, Tribuwana Tunggadewi dan para menteri, Gajah Mada yang baru diangkat menjadi Patih Amangkubumi, mengucapkan sumpah.