Seperti diriwayatkan, ketika Umar bin Khattab menerima surat dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari, tidak ada keterangan yang menjelaskan, kapan surat tersebut dibuat atau dikirimkan.
Kejadian ini disadari dan dirasakan oleh Umar, akan mempersulit pengarsipan serta penyeleksian dokumen maupun surat-surat yang masuk dan keluar.
Umar lantas mengupayakan pertemuan dengan para ahli dan sahabat Nabi SAW, guna mencari pemecahan masalah terkait kebutuhan penanggalan yang berlaku untuk kalangan umat Islam.
Saat pertama musyawarah digelar, ada usulan kepada Umar bin Khattab untuk menjadikan peristiwa bi’tsah atau diangkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasulullah SAW sebagai awal dimulainya¹ penanggalan.
Dalam riwayat lain disebutkan, Umar mengusulkan kelahiran atau pengangkatan Nabi Muhammad menjadi Rasulullah SAW sebagai acuan permulaan kalender Islam.
Namun usulan ini tidak disetujui oleh Ali bin Abi Thalib. Ali justru mengusulkan tahun terjadinya peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah sebagai awal dimulainya kalender Islam.
Usulan Ali bin Abi Thalib ini ternyata mendapat respon dari seluruh peserta musyawarah. Hingga kemudian dicapailah kesepakatan untuk menjadikan peristiwa Hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah sebagai awal dari Kalender Hijriah.
Kesepakatan yang dicapai lewat musyawarah, ini oleh Khalifah Umar bin Khattab lalu ditetapkan sebagai awal dari dimulainya Kalender Islam.
Penetapan resmi kelender umat Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab ini terjadi pada tanggal 8 Rabi’ul Awal tahun 17 Hijriah/622 Masehi.
Hijriah digunakan sebagai nama kalender umat Islam, diambil dari peristiwa hijrah Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah. (*).