Bukti sejarah lainnya, yakni naskah sejarah Wali Songo riwayat Sultan Maulana Hasanuddin Banten (Babad Cirebon kode CS 114 PNRI hal. 73).
Dalam naskah ini disebutkan: “Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan (berjabat tangan) sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning,”. (pic.twitter.com/z8KJjPkQvh @Ayung_N)
Terjemahan bebas:
“Masyarakat Japara menghormati semua warga desa Japara dan berperilaku di masjid. Orang-orang mengangkat tangan dan bertindak HALAL BAHALAL. Mereka datang mengunjungi Pangeran Karang Kamuning.”
Isi dalam naskah ini mengartikan adanya suatu kegiatan acara semacam open hoese di masjid, di Jepara.
Pangeran Karang Kamuning, seorang waliullah menantu Sunan Ampel, membuka pintu bagi masyarakat untuk bersilaturahmi dengannya mengikuti acara halal bihalal.
Dari bukti sejarah ini menunjukkan bahwa tradisi halal bihalal sebenarnya sudah ada jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia.
Bahkan antropolog UIN Sunan Kalijaga, Mohammad Soehadha, tradisi halal bihalal berakar dari “pisowanan” yang sudah ada sejak jaman Praja Mangkunegaran Surakarta, tahun 1700an atau abad ke-18.
Kala itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk acara “sungkeman” kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri.