Sekalipun Nyi Ageng Serang kemudian disunting Sultan Hamengku Buwono II, namun tekadnya untuk terus berjuang tak pernah padam.
Bagi Nyi Ageng Serang, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka menjadi keharusan bagi dirinya untuk siap tempur melawan para penjajah itu.
Setelah pernikahannya dengan Sultan Hamengku Buwono II bubar, Nyi Ageng Serang menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumo Wijoyo atau yang dikenal dengan Pangeran Serang 1.
Nyi Ageng Serang selalu dikisahkan menunggangi kuda putih dengan membawa tombak saat memimpin pasukan di medan perang.
Setelah Belanda berhasil menangkapnya dalam suatu perlawanan, Nyi Ageng Serang lalu dikirim ke Jogja
Setelah Perang Jawa pecah, tahun 1825, jiwa perjuangan Nyi Ageng Serang yang sempat terpendam untuk beberapa tahun lamanya kembali bergolak.
Di usianya yang sudah tidak lagi muda, 73 tahun, Nyi Ageng Serang bersama suaminya Pangeran Kusumo Wijoyo, bergabung dalam pasukan Pangeran Diponegoro.
Dalam pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang tidak hanya membantu, tapi juga menjadi penasehat sekaligus memimpin pasukan di medan perang.