Kirab Pusaka Reog, Eratkan Jalinan Kebudayaan Jember dan Ponorogo

IMG 20190318 WA0047 e1552869805134
Pusaka Bujang Ganong
Pusaka Bujang Ganong

LONTARNEWS.COM. I. Jember – Kirab Pusaka Reog yang digelar di Kecamatan Balung, seakan mengingatkan kembali hubungan masyarakat Jember dengan Ponorogo. Mengapa demikian ?. Pada masa lalu, masyarakat dari kedua daerah ini pernah dihubungkan oleh adanya trayek bus Jember (Ambulu) – Ponorogo.

Beroperasinya bus yang melayani trayek Ambulu – Ponorogo inilah yang menjadikan hubungan kebudayaan kedua daerah begitu erat. “Ada yang menarik, sejak dulu ada trayek bus jurusan Ambulu-Ponorogo, ini menunjukkan ada ikatan yang sudah lama terbangun,” kenang Widayaka, SH.M.Si, Camat Balung, pada acara Kirab Reog, di Pendopo Kecamatan Balung, Jember, Minggu (17/3/2019).

Widayaka juga menyambut positif acara yang diselenggarakan Komunitas Reog. Pihaknya berharap agenda ini akan menjadi kegiatan positif untuk melestarikan budaya bangsa. Terlebih, antara Jember dan Ponorogo sudah sejak lama memiliki ikatan kebudayaan yang erat.

Ketua Panitia, Bambang Sugiarto, menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Muspika Balung yang telah banyak membantu sehingga acara bisa digelar. “Kami ucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga, jika saja  pihak muspika tidak memberi kemudahan, pasti acara sudah gagal,” aku Bambang.

Acara yang diikuti 25 Grup Reog di wilayah Jember bagian selatan dan Komunitas Cimande Jember itu, sempat tertunda karena hujan. Namun beberapa saat setelah hujan mereda, panitia memutuskan untuk tetap bertahan di pendopo Kecamatan Balung.

Hingga pada akhirnya acara diskusi kebudayaan reog yang digelar Sanggar Putra Tanjung Balung dan didukung Komunitas Silat Cimande Jember yang semula dijadualkan di lapangan Balung, bergeser ke Pendopo Kecamatan Balung. 

Agenda kebudayaan bertajuk “Kirab Pusaka & Diskusi Budaya Dalam Rangka Menggali Budaya Bangsa Membangun Indonesia Lebih Bermartabat Mari Kita Ciptakan Pemilu Damai 2019″ itu mampu memberi daya tarik tersendiri kepada masyarakat. Itu bisa dilihat, hingga acara berakhir warga yang menonton masih tetap bertahan.

Acara diawali dengan mengarak “Kepala Dadak Merak Reog” atau biasa dikenal kepala Singobarong, dari rumah Ketua Panitia, Bambang Sugiarto, menuju lapangan Balung. Kepala Singobarong yang sudah berusia 4 generasi itu secara khusus sengaja dibawa dari Ponorogo. Piranti Reog ini tak diketahui dengan pasti berapa umurnya. Teksturnya sangat terkesan sudah berusia sangat tua.

Menurut perwakilan Seniman Ponorogo, Langgeng Dwi, Kepala reog terbuat dari kulit harimau dan merupakan piranti kunci pertunjukan reog. Biasanya, diatas kepala dihiasi bulu-bulu merak asli.

Disamping Singobraong ada juga piranti Topeng Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu-tunggu oleh penonton khususnya anak-anak.

“Kami merasa tersanjung, karena Topeng Bujang Ganong ini pada ahirnya diminta diarak justru oleh seniman reog di Jember,” ungkap Langgeng Dwi.

Demikian pula dengan penampilan Sang Maestro Kembar Wondo dan Wandi, yang cukup lumayan menyedot perhatian penonton. Seniman Ponorogo yang berkesempatan hadir pada acara itu, meski tanpa dadak merak, namun berhasil membawakan tarian dadak merak dengan gaya tarian klasik.

Menurut seniman Reog Ponorogo yang juga hadir pada acara itu, Shodig  Pritiwanto, tarian yang dibawakan sang Maestro itu merupakan jenis tarian dadak merak yang kini sudah hampir punah. Sebuah gerakan tari yang bukan sekedar menggerakkan badan, tapi juga memiliki nilai yang mendalam.

“Tarian mbah Wandi dan Wondo, memang sudah mulai ditinggalkan, ini merupakan tanggung jawab bersama untuk mewariskannya kepada generasi penerus,” kata Shodig prihatin.

Tarian Jatilan Kontemporer yang dibawakan Sanggar Putra Tanjung, juga mendapat perhatian Shodig. Menurut dia, tarian ini merupakan sebuah perpaduan kreasi tarian jatilan klasik dan modern. Bukan saja gerakannya yang dinamis, tetapi pakaian yang dikenakan juga sudah sudah dimodifikasi.

“Jatilan itu menggambarkan Prajurit yang bertempramen seperti wanita. Ini merupakan bentuk kritik terhadap prajurit yang tidak punya ketegasan,” terang Shodig.

Gambaran feminisme seorang prajurit, lanjut Shodig, juga terlihat pada piranti “Jaranan” yang digunakan. Hal itu bisa dicermati dari bentuk ekor jaranan dan bulu bulu yang ditempelkan.

“Bentuk jaranan juga membedakan secara tajam antara tarian jaranan di Ponorogo dan di luar Ponorogo,” kata Shodig.

Tak kalah menariknya, kelompok Silat Cimande juga membawakan atraksi yang berhasil membawakan jurus kembangan yang ternyata juga bisa dipadukan dengan musik reog. Pesilat dari Perguruan Anak Sholeh, Macan Tutul, Panji Nusantara, dan perguruan silat yang hadir juga mampu memberikan warna pertunjukan.

Shodig sekali lagi memberikan kesannya, bahwa tarian kembangan Silat Cimande juga memiliki keindahan koreografi yang menakjubkan. “Tarian cimande ini jika digarap serius bisa jadi seni pertunjukan yang tak kalah menariknya,” imbuh Shodig. 

Pada kesempatan itu, tampil juga penari dari UKM Kesenian Universitas Jember dengan tarian modern.(*)