“Bahasa Indonesia tidak ada; Tabrani tukang ngelamun” demikian petikan dari ucapan Mohammad Yamin yang dicatat dalam karya tulis Sebuah Otobiografi M. Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal (halaman 42).
Tabrani yang pada Kongres Pemuda Pertama bertindak sebagai Ketua, menimpali ucapan Yamin. “Alasanmu, Yamin, betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya. Namun, saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini,” jawab Tabrani.
Akibat dari terjadinya perbedaan pendapat antara Yamin dan Tabrani tersebut, tidak diperoleh keputusan tentang nama bahasa yang akan digunakan dalam Sumpah Pemuda.
Barulah setelah Kongres Pemuda Indonesia Kedua yang dilaksanakan tahun 1928, nama bahasa persatuan yang semula bahasa Melayu (sesuai usulan M Yamin) diganti menjadi Bahasa Indonesia.
Penggunaan nama Bahasa Indonesia yang disampaikan pada Kongres Pemuda Kedua, ini sesuai pesan yang dititipkan kepada M. Yamin saat Kongres Pemuda Pertama, bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia.
Yamin selaku penulis dalam Kongres Pemuda Kedua menunaikan tugasnya dengan baik. Dalam Kongres Pemuda Kedua yang diketuai Sugondo Joyopuspito, sudah tidak membicarakan lagi usul Yamin dalam rapat panitia.
Semua keputusan dan pesan dari Kongres Pemuda Pertama langsung dibawa dalam sidang umum dan Kongres menerima usulan dengan suara bulat.
Hasil sidang Kongres Pemuda Kedua, ini oleh Sanusi Pane disebut dengan “Kebulatan Tekad Pemuda”. Sedang M Yamin menyebutnya dengan “Ikrar Pemuda”, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. (*).