Akan tetapi di luar perkiraan, setelah ketiga tokoh kemerdekaan itu menyodorkan konsep yang telah dibuat, Jenderal Imamura tiba-tiba menyatakan, bahwa kepentingan tentara Jepang di Indonesia hanya terbatas pada masalah kemenangan perang.
Sedangkan untuk urusan politik, Imamura mengaku tidak bisa memutuskan, karena bergantung pada kebijakan pemerintah pusat di Tokyo.
Ini yang kemudian semakin membuat bingung para tokoh pergerakan, karena konsep rancangan dasar negara yang dibuat oleh Ahmad Soebardjo dan kedua rekannya sebagai dasar negara Pemerintahan Sementara Indonesia, ternyata tidak pernah dipakai.
Baru setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, yang kemudian diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, konsep dasar pemerintahan Indonesia sementara yang dibuat Ahmad Soebardjo, bisa diterima.
Konsep dasar negara ini diterima, setelah Ahmad Soebardjo, dalam sebuah rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyampaikan usulan dan pendapatnya.
Ahmad Soebardjo yang merupakan anggota BPUPKI, dalam rapat tersebut melontarkan pendangannya tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka.
“Dalam merancang suatu konstitusi bagi Indonesia, adalah suatu kesalahan besar bila kita hanya meniru atau menuliskan
kembali suatu konstitusi dari negara-negara lain. Apa yang baik bagi negara lain, belum tentu baik daripada suatu falsafah hidup bagi alam pikiran serta pandangan mengenai kehidupan di dunia yang merdeka,” ucap Soebardjo di dalam rapat tersebut.
Berkat pemikiran cemerlangnya itulah, akgirnya Ahmad Soebardjo diikutsertakan dalam Panitia Sembilan. Tugas dari Panitia Sembilan ini, adalah merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Dalam Panitia Sembilan ini peran Ahmad Soebardjo terbilang cukup besar. Gagasan yang disampaikan bahkan dimasukkan sebagai paragraf pertama Pembukaan UUD 1945.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. (*).
Sumber: Buku “Seri Pengenalan Tokoh; Sekitar Proklamasi Kemerdekaan”