Selanjutnya, masing – masing kompi diperintahkan kembali ke daerah pertahanannya untuk melancarkan perang gerilya.
Keluarnya perintah penghentian tembak menembak dari Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Soedirman, pada tanggal 3 Agustus 1949, menjelang akan dilakukannya gencatan senjata pada tanggal 11 Agustus 1949, oleh pasukan Batalyon 25 disikapi dengan penuh kesiagaan.
Di bawah kepemimpinan Mayor Syafioedin, pasukan Batalyon 25 yang pusat komandonya sudah pindah dari Desa Karang Bayat ke Pondokdalem, merasa khawatir rencana gencatan senjata itu hanya akal-akalan Belanda untuk menyusun strategi baru dalam melumpuhkan perjuangan tentara dan rakyat Indonesia.
Sikap kehati-hatian dan kesiagaan ini dijalankan seluruh anggota Batalyon 25, dari pasukan sampai komandan batalyonnya.
Komandan Batalyon 25, Mayor Syafioedin yang ketika itu berada di Desa Pondokdalem setiap saat dalam ancaman penangkapan tentara Belanda.
Perjuangan Mayor Syafioedin dalam memimpin pasukan Batalyon 25 saat perang mempertahankan kemerdekaan, selalu didampingi isterinya, Hj.RA.Sri Suli Sulastri.
Sulastri sendiri, selain sebagai isteri Komandan Batalyon 25, juga petugas Palang Merah. Ia berjuang bersama suaminya, turun di medan perang.
Kemanapun Syafioedin bergerak, Sulastri dipastikan selalu menemani dan berada disampingnya.