“Anaknya sakit ya?,” tanya tentara Belanda, yang langsung dijawab oleh bu Kamsiti “Iya tuan,” jawab bu Kamsiti.
Tak lama kemudian, setelah tahu di rumah itu ada anak sakit dan tidak ada yang mencurigakan, tentara Belanda yang sedang melaksanakan patroli itu pun pergi.
Selanjutnya, setelah Belanda itu dirasa sudah cukup jauh, pak Kamsiti dan bu Kamsiti, menyuruh Mayor Syafioedin dan Sulastri turun dari Pogo Pawon.
Saat baru turun dari pogo pawon, terlihat wajah pasangan suami isteri yang sama-sama pejuang itu kemerah-merahan.
Terlihat, saat bersembunyi di atas pogo pawon, Mayor Syafioedin dan Sulastri menahan panas dan asap dari tungku yang berada di bawahnya.
Begitulah sekelumit kisah dari pasangan suami isteri, Mayor Syafioedin dan Sulastri, yang sama-sama pejuang.
Sulastri merupakan sosok perempuan yang berbhakti pada suami, sekaligus pemberani. Setelah meninggal, Sulastri dimakamkan di pemakaman umum, depan SMPN 3 Tanggul.
Untuk menandai kepahlawanannya, DHC 45 memberikan tetenger (penanda) pada makam Sulastri berupa Bambu Runcing.(*).
Sumber; Buku “Letkol Moch Sroedji, Jember Masa Perang Kemerdekaan”