Tapi meski sudah berjalan keliling kampung, air yang diharapkan tak juga didapat. Warga enggan menerima kehadirannya, karena takut pada prajurit Puger.
Hingga abdi setianya sampai mengingatkan Arya Blater. “Raden, sudahlah, kita tinggalkan desa ini saja,” saran pembantu setianya.
Akhirnya dengan berat hati, Arya Blater dan prajuritnya pergi meninggalkan Desa Sumberrejo. Setibanya di pinggir desa, Arya Blater bersama prajuritnya yang tersisa beristirahat, dan berteduh di bawah pohon asam.
Meski sudah dalam keadaan letih dan dahaga karena tidak menemukan air minum, namun mereka tetap semangat demi membela wilayahnya.
Mereka berkeyakinan pasukan Majapahit yang kedatangannya sangat ditunggu-tunggu akan segera tiba untuk membantu membebaskan Kadipaten Kutha Blater dari pendudukan Kadipaten Puger.
Majapahit tidak akan pernah rela daerah yang selama ini menjadi pemasok kebutuhan pangan itu, berada di bawah kekuasaan kerajaan lain.
Di saat pikirannya terbang melayang tak tentu arah, tiba-tiba Arya Blater teringat kepada adiknya, Purbasari, yang tidak diketahui nasibnya setelah Kadipaten Kutha Blater diserang Adipati Puger.
“Bagaimana nasib Purbasari? Kasihan dia. Semoga ia selamat,” gumam Arya Blater.
Di kala itu juga tiba-tiba Arya Blater bangkit dari istirahatnya dan berucap. “Kurang ajar. Kurang ajar!. Ternyata penduduk Sumberrejo pendukung Adipati Puger,” teriaknya geram sambil mengepalkan tangan, yang membuat para pembantu dan prajuritnya bangun dan terheran-heran.
Sebelumnya, penduduk di Desa Sumberrejo dikenal sangat patuh kepada Kadipaten Kutha Blater, bahkan tidak pernah terlambat membayar upeti. Entah kenapa mereka tiba-tiba berubah menjadi pengikut Adipati Puger.