Tahun 1923 di Bandung berdiri organisasi kepanduan Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) . Di tahun yang sama, di Jakarta juga berdiri Jong Indonesische Padvinders-Organisatie (JIPO).
Kedua organisasi kepanduan ini pada tahun 1926 melebur menjadi satu dengan membentuk organisasi
baru bernama Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO), di Bandung tahun 1926.
Di luar Jawa, pada tahun 1928 para pelajar sekolah agama di Sumatra Barat mendirikan kepanduan El-Hilaal.
Organisasi kepanduan yang dibentuk kalangan pemuda maupun organisasi kebangsaan dan sosial masyarakat, terus menunjukkan perkembangan yang cukup membanggakan.
Pada 23 Mei 1928 muncul PAPI (Persaudaraan Antar Pandu Indonesia) yang anggotanya terdiri dari INPO, SIAP, NATIPIJ, PPS.
Perkembangan gerakan kepanduan berskala nasional ini ternyata tidak membuat senang orang-orang Belanda.
Orang Belanda tidak suka, karena organisasi kalangan pribumi yang ketika itu tumbuh seperti jamur di musim hujan, menyebut kepanduan dengan istilah padvinder.
Karena itu pemerintah Hindia Belanda kemudian melarang seluruh gerakan kepanduan bumiputera menggunakan istilah padvinder.
Pelarangan penggunaan istilah padvinder oleh pemerintah Hindia Belanda, disikapi K. H. Agus Salim dengan memperkenalkan istilah “pandu” atau “kepanduan” kepada organisasi kepramukaan di seluruh Tanah Air.