Permintaan Gajah Mada ini diiyakan oleh semua yang ada di istana ketika itu. Hingga pada akhirnya keadaan bisa dipulihkan, dan Ra Kuti mati terbunuh.
Selanjutnya, setelah keadaan dianggap memungkinkan, Gajah Mada menjemput Jayanegara dari rumah kepala desa Bedander untuk dibawa pulang kembali ke istana Majapahit.
Pascaterjadinya huru hara di Majapahit, Gajah Mada tidak lagi menjadi Bekel Bayangkara. Ia diangkat menjadi Patih di Kahuripan dari tahun 1319-1321 M, dan dari tahun 1321-1334 menjadi Patih Daha menggantikan Patih Arya Tilam yang telah mangkat.
Setelah berhasil menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta, tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit.
Nagarakretagama pupuh 70, pasal 1 menyebutkan, “… tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285 Saka atau 1363 Masehi), Prabu Hayam Wuruk mengunjungi Simping, Malang, untuk pemindahan candi makam.
Masih dalam pupuh yang sama, pupuh 70, pada pasal 3, disebutkan, “…. sekembalinya dari Simping, segera masuk pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gadjah Mada sakit. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh…”.
Setelah menderita sakit selama kurah lebih setahun, pada tahun 1364, Gajah Mada meninggal dunia. Penjelasan tentang wafatnya Gajah Mada ini tertulis dalam Kakawin Nagarakretagama, pupuh 71, pasal 3, ayat 1.
“…Tahun saka tiga angin utama (1253) beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun rasa (1286) beliau mangkat; Baginda gundah, terharu bahkan putus asa. Sang Dibyacita Gadjah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup tidak baka, karenanya beramal tiap hari…” (*).