Setelah peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan, fokus perhatian DST atau KST beralih pada penumpasan gerakan pemberontakan.
Pada akhir 1948, pasukan terjun payung KST, Kompi Parasut ke-1 (1e Parachutisten Compagnie), melakukan sejumlah operasi lintas udara yang kemudian dikenal dengan nama Operasi Kraai.
Operasi Kraai pada akhir 1948, 19 Desember 1948, diawali dengan merebut bandara ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, lalu memenjarakan para pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Sukarno.
Setelah gagal dalam upaya menghancurkan Indonesia dan mengembalikannya kepada keuasaan Belanda, KST masih terus mencoba melakukannya dengan cara lain.
Awal tahun 1950, setelah KST berubah menjadi RST (Regiment Speciale Troepen atau Resimen Pasukan Khusus), sejumlah personil dari pasukan elit Belanda, ini melakukan aksi.
Di bawah pimpinan Raymond Westerling, sejumlah anggota RST membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). APRA merupakan kelompok milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang berdiri di masa Revolusi Nasional Indonesia.
Kelompok milisi ini terlibat dalam upaya percobaan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.
Tahun 1950, bersamaan dengan dibubarkannya Tentara Kerajaan Hindia Belanda, unit pasukan ini juga ikut bubar. (*).