Seperti catatan dalam Serat Pararaton; “Berselat dua tahun dari Peristiwa Wagal dan peristiwa Lasem, Semi dibunuh. Ia mati di bawah pohon kapuk, pada tahun saka: Bulan Kitab Suci Sayap Orang (1240 Saka/1318 M). Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti”
Versi yang berbeda terdapat dalam Kidung Sorandaka. Berbeda dengan Serat Pararaton, Kidung Sorandaka menyebut Ra Semi bukan memberontak, tapi hanya membela Nambi yang karena hasutan Dyah Halayudha (Ramapati), dikatakan mau memberontak.
Dalam Kidung Sorandaka dikatakan, Ra Semi terbunuh bersama Nambi dalam sebuah operasi penumpasan saat hendak ke Lumajang, karena orang tua Nambi meninggal.
Kematian Ra Semi dalam Kidung Sorandaka tercatat dengan candrasengkala “nora weda paksa wong” atau tahun Saka 1240/1316 Masehi.
Terlepas dari adanya dua versi soal pemberontakan dan kematian Ra Semi, peristiwa lain akibat dari ketidakpuasan atas naiknya Jayanegara ke singgasana Majapahit, kembali dilakukan Dharmaputera.
Kali ini yang menjadi pemimpin pemberontakan adalah Ra Kuti, pasukan Dharmaputera. Pemberontakan Ra Kuti, tahun 1319, yang juga diikuti anggota Dharmaputra lainnya, seperti Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Wedeng, sempat menguasai istana Majapahit.
Tujuan dari pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti dan anggota Dharmaputera lainnya, yakni untuk menyingkirkan Jayanegara dari Singgasana Majapahit.
Pemberontakan Ra Kuti berhasil dipadamkan setelah Gajah Mada yang ketika itu sebagai bekel pasukan pengamanan raja, Bhayangkara, memimpin aksi penyelamatan Prabu Jayanegara.
Gajah Mada berhasil membawa lari dan menyelamatkan Jayanegara di saat istana Majapahit dikuasai Ra Kuti.
Jayanegara berhasil dilarikan bekel Gajah Mada bersama 14 orang anggota Bhayangkara menuju tempat persembunyian di Desa Badander.