Melihat terjadinya perubahan pada posisi sumur hingga airnya terlihat sampai permukaan, para prajurit yang sedari tadi dengan setia menunggui Arya Blater berdoa, seketika bersorak gembira.
Sesaat kemudian, mereka dengan cepat menghampiri sumur. Sedang Arya Blater yang belum beranjak dari tempatnya memanjatkan doa, hanya diam membiarkan prajurit dan pembantunya meminum air sumur sepuasnya.
“Wahai paman sekalian, berkat pertolongan Tuhan, sumur ini berhasil aku gulingkan. Sumur ini juga sudah membantu kita menghilangkan rasa haus dan memberikan semangat baru kepada kita. Karena itu, aku akan memberi nama sumur ini dengan Sumur Gumuling. Dan kelak sumur ini akan memberi berkah kepada siapa saja yang minum airnya,” ucap Arya Blater.
“Terima kasih Raden. Kami akan selalu mengingatnya,” jawab para pengikutnya dengan penuh hormat.
Sementara beberapa penduduk desa yang sedari tadi secara diam-diam menyaksikan segala yang dilakukan Arya Blater dari balik dinding bambu rumahnya, merasa kagum dan senang melihat peristiwa itu.
Sumur yang semula dianggap tidak berguna karena airnya terlalu dalam, kini sudah bisa dimanfaatkan lagi setelah posisinya digulingkan oleh Arya Blater.
Selanjutnya, setelah merasa cukup istirahat dan rasa haus sudah terobati dengan meminum air sumur, Arya Blater bersama pengikutnya meninggalkan Desa Sumberrejo untuk kembali ke kadipaten.
Arya Blater sangat mencemaskan keadaan adiknya, Dewi Purbasari, yang tidak diketahui keadaannya setelah terpisah saat terjadinya penyerbuan di Kadipaten Kutha Blater oleh Adipati Puger.
Arya Blater sendiri tidak tahu, kalau adiknya yang bernama Dewi Purbasari, sebenarnya sudah lama meninggal. Purbasari mengakhiri hidupnya dengan keris ayahnya.
Ia lebih memilih mati daripada tertangkap dan dibawa ke Kadipaten Puger (lontarnews.com).
(Sumber: Antologi Cerita Rakyat Jawa Timur)