Berawal dari inilah, Sultan Agung kemudian menggagas perlunya dibuat kalender baru yang bisa menggantikan penanggalan Hindu, agar kegiatan keagamaan yang dilaksanakan bisa selaras dengan keyakinan yang dianut masyarakat dan pemerintahan Kerajaan Mataram.
Kalender Saka yang sudah digunakan di Jawa sejak lama, lalu dipadukan dengan Kalender Hijriah. Perpaduan dua sistem penanggalan, Saka yang berbasis perputaran matahari (Solar) dengan Hijriah yang mengikuti perputaran bulan (lunar atau kamariah), ini melahirkan penanggalan baru yang dikenal dengan Kalender Jawa.
Kalender Jawa yang dibuat Sultan Agung, tetap meneruskan penomoran tahun sebagaimana yang digunakan dalam tahun Saka, yakni dimulai dari tahun 78 Masehi.
Untuk nama-nama bulan, Kalender Jawa menggunakan nama seperti yang ada dalam Kalender Hijriah.
Sistem kalender Jawa juga menggunakan siklus hari, yakni satu minggu terdiri dari 7 hari seperti yang digunakan dalam Kalender Hijriah, mulai dari ahad sampai sabtu.
Kalender Jawa juga memiliki siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Mulai dari Kliwon yang artinya Asih, melambangkan jumeneng (berdiri).
Lalu pasaran Legi yang artinya Manis, melambangkan mungkur (berbalik arah kebelakang). Pahing artinya Pahit, melambangkan madep (menghadap).
Selanjutnya Pon yang artinya Petak, melambangkan sare (tidur), dan Wage artinya Cemeng, melambangkan lenggah (duduk).
Sistem penanggalan Jawa yang didasarkan pada putaran bulan, sampai sekarang masih banyak digunakan oleh masyarakat Jawa.