Mengapa Ada Penanggalan Jawa! Apa yang Menjadi Penyebab Kelahirannya?.

Dalam Kalender Jawa ada siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran, antara lain, Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Salah satunya, sistem perhitungan kalender Jawa tidak mengikuti kalender Saka yang berdasarkan matahari. Kalender Jawa memakai perhitungan pergerakan bulan, seperti penanggalan Hijriah.

Karena itu, jumlah hari dan bulan dalam kalender Jawa sama dengan sistem Hijriah, tapi angka tahunnya mengikuti kalender Saka.

Bacaan Lainnya

Nama bulan dalam kalender Jawa juga ada kemiripan dengan Kalender Hijriah. Bulan pertama Suro, lalu Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, Besar.

Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriah yakni Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.

Karena sistem perhitungan Kalender Jawa dengan Hijriah sama, sehingga awal tahun baru dari kedua kalender tersebut juga selalu bersamaan meski tahunnya berbeda.

Umat Muslim merayakan tahun baru Hijriah atau Islam pada 1 Muharam, masyarakat Jawa juga merayakan tahun baru Jawa pada tanggal 1 Suro.

Sistem kalender Jawa juga menggunakan dua siklus hari. Pertama siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari seperti kalender Masehi.

Nama hari yang digunakan dalam kalender Jawa merupakan serapan dari bahasa Arab. Seperti Ahad (Minggu), Isnain (Senin), Tsalasa (Selasa), Arba’a (Rabu), Khamisi (Kamis), Jum‘ah (Jumat), dan Sab’ah (Sabtu).

Dalam kalender Jawa juga ada siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran. Lima hari pasaran tersebut, antara lain, Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Penanggalan Jawa yang dibuat Sultan Agung sampai saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan Madura, biasanya untuk keperluan yang berkaitan dengan kelahiran, pernikahan, dan selamatan-selamatan lainnya.(*).

Loading

Pos terkait