Setelah pulih dan semuanya dianggap sudah beres, mereka kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menembus hutan belantara.
Di tengah perjalanan, saat mereka menyibak hutan lebat yang dihuni binatang buas, mereka menjumpai sebuah telaga dengan airnya yang sangat bening layaknya sebuah cermin kaca.
Di telaga bernama Telaga Sarangan tersebut mereka berhenti dan kembali beristirahat. “Paman, tempat ini cukup bagus dan asri untuk melakukan pertapaan. Agar tenagaku bisa pulih kembali, aku akan melakukan tapa dulu di telaga ini paman,” ucap Mayang Kusuma kepada abdinya.
Mendengar ucapan itu, kedua abdi yang selalu setia mendampingi junjungannya, langsung mempersilahkan.
“Baiklah gusti, apa pun yang gusti lakukan, hamba berdua akan selalu menemani dan mengabdi pada Gusti Prabu,” jawab mereka berdua, sambil mengangkat dan merapatkan kedua telapak tangannya, yang menandai sikap hormat dan tunduk pada junjungannya.
Sementara Raja Mayang Sukma dan dua pengikut setianya berada di Telaga Sarangan untuk beristirahat dan bertapa, di tempat lain ada seorang raja dari Kerajaan Sukma Ilang, tengah dirundung susah.
Raja Sukmayana dari Kerajaan Sukma Ilang, itu gundah lantaran salah satu dari tiga putrinya yang cantik akan dipinang Raja Nusa Barong.
Ketiga putri Raja Sukma Ilang yang kesemuanya cantik dan berbudi luhur, itu sangatlah berbakti kepada orang tuanya.
Dikisahkan, keinginan Raja Nusa Barong untuk memperistri putri Raja Sukma Ilang awalnya diketahui dari seorang utusan Kerajaan Nusa Barong yang datang menghadap Prabu Sukmayana, Raja Kerajaan Sukma Ilang.
Utusan tersebut membawa surat yang dipersembahkan kepada Raja Sukmayana. Setelah surat itu diterima dan dibuka, Raja Sukmayana seketika itu langsung muram.