Mereka menulis dan menyebarkan opini lewat dua media cetak yang dimiliki, majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar De Express.
Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, di surat kabar De Express menulis artikel dengan judul ‘Als ik een Nederlander was’ (Andaikan Aku Seorang Belanda).
Tulisan ini menyuarakan kebijakan pemerintah kolonial yang dinilai sudah keterlaluan, karena melakukan pungutan kepada penduduk yang sudah susah akibat penjajahan yang dilakukan Belanda.
Akibat dari tulisan ini, Ki Hajar Dewantara ditahan dan dibuang ke Bangka. Dari Bangka Ki Hajar kemudian diasingkan ke negeri Belanda.
Nasib yang sama juga dialami
dr. Cipto Mangunkusumo. Akibat dari tulisannya yang berjudul ‘Kracht of Vrees?’ dan dimuat di De Express tanggal 26 Juli 1913, dr Cipto dibuang ke pulau Banda.
Namun karena dr. Cipto sempat mengalami sakit parah dan sulit perawatannya, akhirnya pada tahun 1914 dikirim kembali ke Jawa.
Douwes Dekker pada tanggal 5 Agustus 1913, menulis artikel di surat kabar De Express dengan judul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan Kita : Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat).
Sama dengan dua sahabatnya, akibat dari tulisannya yang dianggap bisa mempengaruhi masyarakat untuk melawan Belanda inilah yang membuat Douwes Dekker dimasukkan penjara, kemudian dikirim ke Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Dengan ditangkapnya tiga tokoh pergerakan yang dikenal sebagai Tiga Serangkai itu, bubar jugalah Indische Partij.
Organisasi politik pertama di Hindia Belanda yang didirikan untuk tujuan Indonesia Merdeka itu bubar sebelum banyak berkiprah di dunia politik dan menunjukkan jatidiri yang sebenarnya.
Sekembalinya dari pengasingan pada tahun 1919, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara mengabdikan diri di dunia pendidikan.
Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa. Sementara Douwes Dekker yang semakin rajin membuat tulisan berisikan kritik tajam terhadap pemerintahan kolonial, pada 1940 mendirikan Ksatrian Institut di Sukabumi, Jawa Barat.(*).