“Sumpahnya diucapkan dengan kesungguhan hati. Karena itu, dia sangat marah ketika ditertawakan,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.
Di sisi lain, konsep penyatuan daerah di seluruh Nusantara sebagaimana diikrarkan Gajah Mada lewat sumpahnya sebenarnya kelanjutan dari cita-cita Raja Singasari terakhir, Prabu Sri Kertanegara.
Pada masa Kertanegara, konsep penyatuan daerah ini dikenal dengan nama Dwipantara. Setelah Kertanegara terbunuh dalam peristiwa penyerangan oleh Jayakatwang dari Kadiri, konsep itu terus dipertahankan oleh puterinya, Gayatri atau Sri Rajapatni.
Setelah Jayakatwang mangkat akibat serangan pasukan Mongol bersama Mapajahit, Gayatri yang kemudian dinikahi Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, berupaya melanjutkan cita-cita ayahnya, Kertanegara, unruk menaklukkan Dwipantara.
Cita-cita ini baru bisa diwujudkan setelah anak Gajatri, Tribuwana Tunggadewi, menduduki tahta Majapahit, menggantikan Jayanegara yang meninggal akibat ditikam oleh anak buahnya sendiri yang menjadi tabib istana bernama Ra Tanca.
Lewat tangan Gajah Mada yang sudah diangkat menjadi Patih Amangkubumi dengan sumpahnya yang dikenal dengan “Sumpah Palapa”, cita-cita menaklukkan seluruh negeri di Dwipantara atau Nusantara itu baru bisa diwujudkan.
Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin Indonesia, seperti Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut Sumpah Palapa dari Gajah Mada ini sebagai inspirasi dan “bukti” bahwa bangsa yang ada di kepulauan Nusantara dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. (*).